Aturan E Commerce

Ternyata hukum positif e commerce Indonesia masih banyak bolongnya. Setidaknya demikian seperti yang dilansir antaranews.com di awal April 2014.  Bolong yang dimaksud adalah penyelesaian aturan turunan dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berupa peraturan pemerintah yang mengatur tentang perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce). 
Dilihat dari maraknya penggunaan internet, ketiadaan aturan formal cukup memprihatinkan. Artinya transaksi yang sudah banyak terjadi selama ini sesungguhnya tidak berada dalam koridor hukum yang lengkap. Lebih lanjut konskuensinya adalah permasalahan yang mungkin (pasti?) terjadi selama ini sesungguhnya tidak dapat diselesaikan secara lengkap, jika pihak-pihak yang terlibat berniat menggunakan saluran hukum yang formal.
Artinya lagi selama ini hanya kesepakatan bersama antar pelaku yang menjadi acuan, dan hukum formal yang sesungguhnya tidak dirancang untuk menjadi 'payung' bagi perdangan elektronis. Permasalahan yang timbul selama ini diselesaikan dengan aturan untuk transaksi non elektronis. Diduga akan banyak celah yang terbuka yang memungkinkan perlakuan tidak fair di antara para pelaku.
Masih menurut sumber berita di atas, setidaknya terdapat banyak aturan turunan untuk UU Perdagangan yang harus diselesaikan antara lain sembilan peraturan pemerintah, 14 peraturan presiden, dan 20 peraturan menteri perdagangan yang harus diselesaikan untuk mendukung penerapan UU tersebut. Cukup banyak PR yang harus menjadi prioritas. Sebagaimana diketahui menyusun peraturan turunan bukanlah hal yang mudah dan dapat diselesaikan secara cepat dengan hanya menambah sumber daya saja. Faktor waktu (yang terbatas dan tidak mungkin diperbesar) menjadi kendala penyelesaian masalah ini.
Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mayoritas transaksi e-commerce di Indonesia tidak membayar pajak meskipun nilai transaksi mencapai rata-rata kurang lebih Rp100 triliun per tahun. Dapat dibayangkan besarnya potensi pajak yang tidak berhasil diraih oleh negara.
Dilain pihak pertumbuhan transaksi e commerce pun menjadi terhambat. Para pelaku yang memahami kondisi aturan akan mudah menjadi ragu untuk mengembangkan transaksi elektronisnya. Padahal Indonesia sudah dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan pemakaian internet yang sangat besar. Namun demikian, potensi tersebut tidak menjadi pendukung pertumbuhan transaksi elektronis. Pemakaian internet berhenti pada fungsi yang non transaksional.
Sesungguhnya kendala lebih besar sudah nampak, yakni perubahan sususan legislator (yang memang tahun ini adalah saatnya pergantian badan legislatif). Demikian juga dengan badan eksekutif yang dipastikan akan berganti di tahun ini. Pergantian yang sangat memungkinkan diikuti dengan perubahan kebijakan pokok berpotensi menunda penyelesaian penyusunan peraturan e commerce.
Previous Post
Next Post